Pengikut

Mengenai Saya

Rabu, 18 Agustus 2010

1. Niat puasa: (a). Niat disyariatkan dalam puasa Ramadhan, juga puasa wajib lainnya seperti puasa qadha’ dan dan kaffarat. Dan hendaknya niat itu dilakukan di malam hari, meskipun beberapa saat sebelum terbitnya fajar. Niat adalah keinginan hati untuk melakukan suatu perbuatan tanpa diikuti dengan ucapan. Orang yang berpuasa Ramadhan, tidak perlu memperbaharui niatnya setiap malam Ramadhan, tetapi cukup baginya niat puasa Ramadhan sebulan ketika masuk bulan Ramadhan.
(b). Puasa sunnah mutlak tidak disyaratkan niat sejak malam hari. Adapun puasa sunnah tertentu (puasa Arafah misalnya), untuk kehati-hatian maka hendaknya diniatkan sejak malam hari.
2. Barangsiapa melakukan puasa wajib seperti puasa qadha’, nadzar dan kaffarat maka ia harus menyempurnakan puasanya dan tidak boleh berbuka tanpa udzur. Sedangkan orang yang puasa sunnah, maka jika dia menghendaki boleh berbuka, meskipun tanpa uzdur.
3. (a). Orang yang tidak mengetahui telah masuk bulan Ramadhan kecuali setelah terbit fajar maka hendaknya ia menahan dari makan dan minum pada hari itu, lalu mengqadha’nya pada hari lain. Demikian menurut jumhur (mayoritas) para ulama. (b). Orang yang dipenjara atau ditawan , jika mengetahui masuknya bulan Ramadhan dengan menyaksikan atau mendengar berita dari orang yang terpercaya maka ia wajib berpuasa. Jika tidak, maka hendaknya ia berijtihad sendiri dan melakukan apa yang paling kuat menurut dugaannya.
4. Berbuka dan menahan diri (puasa): (a). Bila seluruh matahari telah tenggelam maka itulah waktu berbuka bagi orang yang berpuasa. Dan tidak ada pengaruhnya warna merah yang masih tampak di ufuk. (b). Jika fajar telah terbit, maka orang yang berpuasa wajib menahan diri (dari makan dan minum serta yang membatalakan puasa) seketika, baik mendengar adzan atau tidak. Adapun menahan diri –sebagai bentuk kehati-hatian—sebelum fajar sekitar 10 menit (padahal masih membutuhkan makan dan minum) maka hal itu tidak dibenarkan. (c). Negeri yang malam dan siangnya sepanjang 24 jam maka bagi umat Islam di dalamnya wajib berpuasa, meskipun siangnya lebih lama dari malamnya.
5. Yang membatalkan puasa: (a). Seseorang yang membatalkan puasanya –selain karena haid dan nifas- tidak dikatakan membatalkan puasanya kecuali dengan tiga syarat: 1- Hendaknya dalam keadaan mengerti, tidak bodoh; 2-Dalam keadaan ingat, bukan sedang lupa; 3-Dengan keinginan sendiri, bukan dipaksa. Adapun yang termasuk pembatal puasa adalah bersetubuh, sengaha muntah, ihtijam (bekam) serta makan dan minum dengan sengaja. (b). Termasuk pembatal puasa yang semakna dengan makan dan minum adalah obat-obatan atau serbuk yang ditelan melalui mulut, suntikan yang mengenyangkan, demikian juga transfusi darah. Adapun suntikan yang bukan pengganti makan atau minum maka, tetapi untuk pengobatan, maka hal itu tidak membahayakan puasanya, membersihkan ginjal juga tidak membatalkan puasa. Dan menurut pendapat yang kuat, obat tetes mata dan telinga, mencopot gigi serta mengobati luka, tidaklah membatalkan puasa. Demikian pula dengan mengambil darah untuk diagnosa tidak membatalkan puasa. Obat tenggorokan selama tidak ditelan juga tidak membatalkan. Barangsiapa menambal giginya lalu mendapatkan rasa mint (sejuk) atau lainnya maka hal itu tidak membatalkan puasanya. (b) . Barangsiapa makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzdur maka dia telah berbuat dosa besar, ia harus tobat dan mengqadha’ (mengganti) puasanya. (c). Jika ia lupa lalu makan dan minum maka hendaknya ia tetap melanjutkan puasanya, karena itu merupakan karunia dari Allah. Jika melihat orang yang makan dan minum karena lupa maka ia harus mengingatkannya. (d). Barangsiapa membutuhkan berbuka untuk menolong orang yang mau binasa maka hendaknya ia berbuka dan mengqadha puasanya.
6. (a). Barangsiapa menyetubuhi isterinya pada siang hari Ramadhan dengan sengaja dan tanpa dipaksa maka dia telah merusak puasanya. Ia wajib bertobat dan melanjutkan puasanya pada hari itu serta wajiba mengqadha’ dan membayar kaffarat mughallazhah (denda berat). Dan hal yang sama juga berlaku hukumnya pada orang yang berzina, melakukan homoseksual atau menyetubuhi binatang. (b). Jika ia berkeinginan menyetubuhi isterinya dengan berbuka terlebih dahulu dengan makan atau minum maka dosanya lebih besar, sebab ia telah mencemarkan kesucian Ramadhan dua kali, yakni dengan makan dan bersetubuh. (c). Seorang suami yang mencium, bermesraan, berpelukan, bersentuhan dan memandang berkali-kali terhadap isterinya, jika bisa mengendalikan nafsunya adalah dibolehkan, tetapi jika ia orang yang mudah terangsang birahinya maka hal itu tidak dibolehkan. (d). Jika ia sedang menyetubuhi isterinya tiba-tiba fajar (terdengar adzan) maka ia harus sengera menyudahinya. Puasanya tetap sah, meskipun ia mengeluarkan mani setelah menyudahinya. Jika ia masih tetap menlanjutkannya padahal fajar telah terbit maka berarti ia telah berbuka, dan karenanya ia wajib tobat, mengqadha’ puasanya dan membayar kaffarat mughallazhah.
7. (a). Jika pagi hari ia dalam keadaan junub, mka hal itu tidak membatalkan puasanya. Ia boleh mengakhirkan mandi jari junub, haid dan nifas hingga setelah terbit fajar, tetapi ia harus bersegera sehingga mendapatkan shalat Shubuh berjamaah. (b). Jika orang yang puasa mimpi dengan mengeluarkan mani hal itu membatalkan puasanya menurut ijma’ (kesepakatan) ulama, dan ia tetap wajib melanjutkan puasanya. (c). Barangsiapa mengeluarkan mani pada siang hari bulan Ramadhan dengan sesuatu yang mungkin dijaga, seperti menyentuh atau memandang yang berulang-ulang maka ia wajib tobat kepada Allah dan menahan diri dari makan dan minum pada sisa harinya, lalu ia wajib mengqadhanya pada hari lain.
8. Barangsiapa muntah tanpa sengaja maka tidak wajib mengqadha’ puasanya tetapi, barangsiapa muntah dengan sengaja maka ia wajib mengqadhanya. Adapun mengunyah permen karet manis atau ada rasa lain maka mengunyahnya adalah haram. Jika ada sesuatu yang yang masuk ke tenggorokannya karenanya maka batal puasanya. Adapun dahak atau ingus, jika ia tertelan sampai di mulut maka tidaklah membatalkan puasa, jika ia telan setelah sampai di mulut maka menjadi batal puasanya. Adapun mencicipi makanan tanpa diperlukan hukumnya makruh.
9. Siwak hukumnya sunnah bagi orang yang puasa pada sepanjang siang hari
10. Sesuatu yang terjadi pada orang puasa seperti luka, mimisan, masuknya air cairan lain ke tenggorokannya tanpa sengaja maka hal itu tidak merusak puasa. Demikian pula halnya meminyaki rambut atau kumis atau mencium wangi-wangian.
11. Merokok adalah salah satu yang membatalkan puasa. Dan ia tidak boleh menjadi sebab sehingga sesorang meninggalkan puasa.
12. Berendam di dalam air atau berselimut dengan kain yang dibasahi untuk mendapat kesejukan tidaklah mengapa bagi orang yang berpuasa.
13. Jika seseorang makan, minum atau menyetubuhi isterinya karena mengira waktu masih malam, tetapi ternyata telah terbit fajar maka ia tidak berdosa dan tetap melanjutkan puasanya.
14. Jika ia berbuka karena mengira matahari telah tenggelam padahal belum, maka menurut jumhur ulama ia wajib mengqadha puasanya.
15. Jika telah terbit fajar seorang dimulutnya masih ada makanan atau minuman maka para fuqaha (Para Ahli Fiqih) sepakat bahwa ia harus memuntahkannya dari puasanya sah.
16. Hukum puasa wanita: (a). Jika wanita melihat lendir putih dan dia tahu bahwa dia telah suci maka ia wajib meniatkan puasa sejak malam. Jika ia tidak mengetahui tentang status kesuciannya maka hendaknya dia mengusapnya dengan kapas atau sejenisnya. Jika kapas itu dikeluarkan dalam keadaan bersih maka ia berpuasa. Dan seorang wanita haid atau nifas, jika darahnya berhenti pada malam hari lalu niat puasa, kemudian terbit fajar sebelum mandi maka menurut segenap ulama, puasanya adalah sah. (b). Wanita yang mengetahui bahwa kebiasaan haidnya adalah besok misalnya, maka ia tetap harus tetap dalam niat puasa, dan tidak boleh berbuka sampai ia melihat darah. (c). Yang paling utama bagi wanita haid adalah menerima sunatullah pada dirinya, ridha dengannya dan tidak mencari jalan untuk menghentikan haid pada bulan ramadhan. (d). Jika wanita hamil keguguran, dan janinnya telah berbentuk maka ia dalam keadaan nifas dan tidak boleh berpuasa. Jika belum berbentuk maka ia adalah darah istihadhah (penyakit) dan wajib berpuasa jika ia mampu. Orang yang nifas jika telah suci sebelum 40 hari maka ia niat puasa dan mandi untuk shalat. Dan jika lebih dari 40 hari maka ia niat puasa dan mandi serta darah yang keluar dianggap darah istihadhah. (e). Pendapat yang kuat dengan meng-qiyaskan orang hamil dan menyusui dengan orang sakit. Keduanya boleh berbuka dan tidak ada kewajiban selain qadha, baik tidak puasa karena takut terhadap dirinya atau terhadap anak yang dikandungnya. (f). Perempuan yang wajib puasa jika disetubuhi oleh suaminya pada siang hari Ramadhan dengan kerelaannya maka hukum baginya adalah sama dengan hukum suaminya. Tetapi jika ia dipaksa maka is harus berusaha menolaknya, dan ia tidak wajib membayar kaffarat karenanya.

(Dinukil dari 70 Mas-alatan fish Shiyam, Syaikh Muhammad Salih Al-Munajjid)

4 Komentar

  1. semoga tulisan ini sangat bermanfaat bagi kaum muslimin yang akan memasuki bulan ramadhan, Allah akan senantiasa memberikan kemudahan, Amiin

  2. Assalamu`alaikum saya kurang sependapat dengan artikel di atas bagian (b) . Barangsiapa makan atau minum pada siang hari bulan Ramadhan tanpa uzdur maka dia telah berbuat dosa besar, ia harus tobat dan mengqadha’ (mengganti) puasanya.

    Sesungguhnya yang kuat adalah tak ada qadha puasa sebagaimana yang diterangkan Syaikh Utsaimin dari muslim.or.id
    Adakah Qodho’ bagi Orang yang Sengaja Tidak Puasa?

    Yang dimaksud di sini, apakah orang yang sengaja tidak puasa diharuskan mengganti puasa yang sengaja ia tinggalkan. Inilah yang akan kita bahas selanjutnya setelah kita mengetahui dosa akibat meninggalkan puasa Ramadhan dengan sengaja.

    Mayoritas ulama berpendapat bahwa siapa saja yang sengaja membatalkan puasa atau tidak berpuasa baik karena ada udzur atau pun tidak, maka wajib baginya untuk mengqodho’ puasa.[7]

    Namun ada ulama yang memiliki pendapat yang berbeda. Ibnu Hazm dan ulama belakangan seperti Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin berpendapat bahwa bagi orang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur, tidak wajib baginya untuk mengqodho’ puasa. Ada kaedah ushul fiqih yang mendukung pendapat ini: “Ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir, apabila seseorang meninggalkannya tanpa udzur (tanpa alasan), maka tidak disyariatkan baginya untuk mengqodho’ kecuali jika ada dalil baru yang mensyariatkannya”.

    Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin memaparkan pula kaedah di atas:

    أن العبادة المؤقتة بوقت إذا أخرجها الإنسان عن وقتها بلا عذر فإنها لا تنفع ولا تجزيء

    “Sesungguhnya ibadah yang memiliki batasan waktu (awal dan akhir), apabila seseorang mengerjakan ibadah tersebut di luar waktunya tanpa ada udzur (alasan), maka ibadah tadi tidaklah bermanfaat dan tidak sah.”

    Syaikh rahimahullah kemudian membawakan contoh:
    Misalnya shalat dan puasa. Apabila seseorang sengaja meninggalkan shalat hingga keluar waktunya, lalu jika dia bertanya, “Apakah aku wajib mengqodho’ (mengganti) shalatku?” Kami katakan, “Engkau tidak wajib mengganti (mengqodho’) shalatmu. Karena hal itu sama sekali tidak bermanfaat bagimu dan amalan tersebut akan tidak diterima.

    Begitu pula apabila ada seseorang yang tidak berpuasa sehari di bulan Ramadhan (dengan sengaja, tanpa udzur, -pen), lalu dia bertanya pada kami, “Apakah aku wajib untuk mengqodho’ puasa tersebut?” Kami pun akan menjawab, “Tidak wajib bagimu untuk mengqodho’ puasamu yang sengaja engkau tinggalkan hingga keluar waktu karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

    مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنَا فَهُوَ رَدٌّ

    “Barangsiapa melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari kami, maka amalan tersebut tertolak.”[8]

    Seseorang apabila mengakhirkan ibadah yang memiliki batasan waktu awal dan akhir dan mengerjakan di luar waktunya, maka itu berarti dia telah melakukan suatu amalan yang tidak ada dasarnya dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, amalan tersebut adalah amalan yang batil dan tidak ada manfaat sama sekali.”

    Mungkin ada yang ingin menyanggah penjelasan Syaikh Ibnu Utsaimin di atas dengan mengatakan, “Lalu kenapa ada qodho’ bagi orang yang memiliki udzur seperti ketiduran atau lupa? Tentu bagi orang yang tidak memiliki udzur seharusnya lebih pantas ada qodho’, artinya lebih layak untuk mengganti shalat atau puasanya.”

    Syaikh Ibnu Utsaimin –alhamdulillah- telah merespon perkataan semacam tadi. Beliau rahimahullah mengatakan, “Seseorang yang memiliki udzur, maka waktu ibadah untuknya adalah sampai udzurnya tersebut hilang. Jadi, orang seperti ini tidaklah mengakhirkan ibadah sampai keluar waktunya. Oleh karena itu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang lupa shalat, “Shalatlah ketika dia ingat.”

    Adapun orang yang sengaja meninggalkan ibadah hingga keluar waktunya lalu dia tunaikan setelah itu, maka dia berarti telah mengerjakan ibadah di luar waktunya. Oleh karena itu, untuk kasus yang kedua ini, amalannya tidak diterima.”[9]

    Lalu jika seseorang yang tidak berpuasa dengan sengaja tanpa ada udzur di atas tidak perlu mengqodho’, lalu apa kewajiban dirinya? Kewajiban dirinya adalah bertaubat dengan taubat nashuha dan hendaklah dia tutup dosanya tersebut dengan melakukan amalan sholih, di antaranya dengan memperbanyak puasa sunnah.

    Syaikh Ibnu Utsaimin menjelaskan, “Amalan ketaatan seperti puasa, shalat, zakat dan selainnya yang telah lewat (ditinggalkan tanpa ada udzur), ibadah-ibadah tersebut tidak ada kewajiban qodho’, taubatlah yang nanti akan menghapuskan kesalahan-kesalahan tersebut. Jika dia bertaubat kepada Allah dengan sesungguhnya dan banyak melakukan amalan sholih, maka itu sudah cukup daripada mengulangi amalan-amalan tersebut.”[10]

    Syaikh Masyhur bin Hasan Ali Salman mengatakan, “Pendapat yang kuat, wajib baginya untuk bertaubat dan memperbanyak puasa-puasa sunnah, dan dia tidak memiliki kewajiban kafaroh.”[11]

    Itulah yang harus dilakukan oleh orang yang meninggalkan puasa dengan sengaja tanpa ada udzur. Yaitu dia harus bertaubat dengan ikhlash (bukan riya’), menyesali dosa yang telah dia lakukan, kembali melaksanakan puasa Ramadhan jika berjumpa kembali, bertekad untuk tidak mengulangi kesalahan yang pernah dilakukan, dan taubat tersebut dilakukan sebelum datang kematian atau sebelum matahari terbit dari sebelah barat. Semoga Allah memberi taufik.

    Catatan:
    Adapun perkataan Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu yang disebutkan oleh Bukhari secara mu’allaq (tanpa sanad) dan dikatakan sebagai hadits marfu’ (sabda Nabi),

    مَنْ أَفْطَرَ يَوْمًا مِنْ رَمَضَانَ ، مِنْ غَيْرِ عُذْرٍ وَلاَ مَرَضٍ لَمْ يَقْضِهِ صِيَامُ الدَّهْرِ ، وَإِنْ صَامَهُ

    “Barangsiapa berbuka di siang hari bulan Ramadhan tanpa ada udzur (alasan) dan bukan pula karena sakit, maka perbuatan semacam ini tidak bisa digantikan dengan puasa setahun penuh jika dia memang mampu melakukannya.”

    Juga ada perkataan yang serupa dari Ibnu Mas’ud, maka hadits-hadits tersebut adalah hadits yang dho’if sebagaimana disebutkan oleh mayoritas ulama.

    Syaikh Muhammad bin Sholih Al Utsaimin mengatakan, “Hadits ini adalah hadits dho’if (lemah) menurut mayoritas ulama. Walaupun hadits tersebut dho’if, namun kita dapat melihat permasalahan orang yang tidak puasa tanpa udzur pada kaedah ushul. Kaedah tersebut adalah: Sesungguhnya seseorang jika ibadahnya itu batal, maka dia memiliki keharusan untuk mengqodho’nya. Sebagaimana seseorang yang shalat kemudian shalatnya tersebut batal karena sebab hadats, tertawa, makan, dan minum; maka dia juga memiliki keharusan untuk mengqodho’ shalatnya. Begitu pula dengan puasa, jika puasanya tersebut batal, maka dia memiliki kewajiban untuk mengqodho’ puasanya.

    Hal ini berbeda dengan seseorang yang tidak puasa atau tidak shalat sama sekali. Menurut mayoritas ulama, mereka mengatakan, “Orang yang tidak shalat atau tidak puasa diharuskan mengqodho’ puasa atau shalat yang sengaja ia tinggalkan.” Namun yang lebih tepat, orang yang meninggalkan shalat atau puasa dengan sengaja tidak ada qodho’ baginya. Dia tidak perlu dikasihani dan tidak mendapat keringanan. Puasa yang ingin dia lakukan setelah keluar waktunya tidaklah bermanfaat. Hal itu tidak akan melepaskan dia dari beban kewajiban. Dia tidak diharuskan melakukan sesuatu karena itu tidak bermanfaat baginya.”[12]